Gender
adalah ciptaan Tuhan yang sama, tanpa kurang atau lebih dan diharapkan
sama-sama bertindah sesuai dengan ketentuan sosial di tempatnya. Walau begitu,
masih terasa kental bagaimana wanita yang dipandang rendah oleh lelaki,
bagaimana mereka menganggap bahwa wanita harus selalu di bawah dengan kata lain
“mau jadi pesuruh”. Bagaimana para wanita tidak boleh keluar rumah, tidak boleh
mendapatkan pendidikan. Mereka hanya boleh melakukan pekerjaan rumah dan
mengurus anak. Padahal faktanya, banyak wanita yang memiliki banyak ide dan
prestasi yang seharusnya mereka salurkan, banyak hal yang bisa dilakukan oleh wanita.
Seperti yang kita rasakan di era sekarang, karena emansipasi wanita telah
dipelopori oleh Raden Ajeng Kartini yang sangat melegenda dengan bukunya yang
berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Karena jasa Raden Ajeng Kartini, di
era saat ini bukanlah suatu hal yang tabu apabila wanita keluar rumah, bekerja,
bersekolah, bahkan menjadi bos atau pejabat membawahi para laki-laki. Raden
Ajeng Kartini sudah membawa perubahan besar, yaitu menuntut hak pendidikan bagi
kaum wanita, karena seperti yang kita ketahui jaman dahulu pendidikan bagi
perempuan adalah hal yang sangat tabu. Beliau memperjuangkan agar ada
kesetaraan gender bagi kaum laki-laki dan perempuan. Bagaimana seorang wanita
juga bisa ikut andil dalam bersuara, dalam berapresiasi dan berpendapat di muka
umum. Dengan munculnya kesetaraan gender, mulai bermunculan tokoh-tokoh wanita
yang memiliki peran penting. Mulai dari dosen, dokter, anggota DPR, hingga
Presiden. Salah satu contoh paling nyata adalah para mentri yang dahulu
beranggotakan secara keseluruhan laki-laki, dan sekarang banyak didominasi oleh
wanita. Bos-bos perusahaan yang seorang CEOnya wanita dan memiliki banyak anak
buah laki-laki. Meski begitu, masih ada batasan wanita dalam bertindak.
Contohnya dalam agama. Walau wanita dan laki-laki berstatus sama, wanita tetap
harus patuh dengan laki-laki apalagi apabila mereka sepasang suami istri.
Wanita tetap tidak boleh semena-mena karena menganggap dirinya lebih hebat, dan
melupakan statusnya sebagai seorang wanita apalagi seorang istri. Wanita juga
tetap harus sadar dengan menjaga lisan mereka karena seorang wanita dipandang
dari kelembutan sikap dan perilakunya, tetap dinilai tutur kata dan
kesopanannya.
Namun
ada masalah lain saat wanita mulai memiliki hak nya masing-masing. Banyak
wanita yang lupa dengan kodratnya, dan mereka cenderung lebih berani
beraspirasi tanpa memikirkan dampak kepada khalayak. Mereka mengandalkan
kalimat “Emansipasi Wanita” dibalik pendpat dan perilakunya. Belakangan ini
sedang marak diperbincangkan oleh publik yakni puisi Ibu Sukmawati yang
berjudul Ibu Indonesia. seperti inilah cuplikan isi puisi beliau dalam Fashion
Week 2018 karya Anne Avantie. “Aku tak tahu Syariat Islam. Yang kutahu sari
konde ibu Indonesia sangatlah indah. Lebih cantik dari cadar dirimu,.....”
“........, Aku tak tahu syariat Islam, yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia,
sangatlah elok. Lebih merdu dari alunan azanmu. Gemulai gerak tarinya adalah
ibadah. Semurni irama puja kepada Illahi,.....” hal ini menjadi buah bibir
karena bagaimana seorang Sukmawati Soekarnoputri, dianggap telah menyepelekan
Agama Islam, karena di puisinya jelas tertulis kata yang menjadi kontroversial
yakni “syariat islam”, “cadar”, dan “adzan”. Bagaimana ia sebagai seorang
wanita, menyinggung wanita lain dengan kata “cadar”nya. Sukmawati berpendapat,
bahwa maksud dalam puisi tersebut adalah sebuah kegundahan mengapa budaya islam
telah menggeser atmosfir budaya lokal yakni Indonesia. Mengapa budaya Indonesia
seperti Jawa yang memakai sanggul, mengapa suara tembang gamelan yang merupakan
ciri khas Indonesia harus digantikan oleh atmosfir Islam seperti harus menutup
aurat yang notabene merupakan agama terbesar di Indonesia. ia lupa bahwa ia tinggal
di Indonesia, dimana sangat tabu dalam membahas agama yang berbau SARA. Padahal,
ia adalah seorang pejabat yang memiliki wewenang dalam negara, ia telah
memiliki hak nya namun mengapa ia harus menyalahgunakannya sehingga timbul
sebuah perpecahan? Bagaimana ia yang notabene seorang sosok inspiratif harus
menyinggung SARA yang membuat khalayak merasa kecewa? Kesetaraan gender bagi
kaum wanita yang telah diperjuangkan RA Kartini lagi-lagi disalahgunakan dan
hak suara tersebut malah berdampak pada perdebatan yang tiada ujungnya. Dan
lagi-lagi, wanita yang menjadi sorotan publik. Tidak hanya wanita, kaum
laki-lakipun dilarang untuk menyinggung SARA. Hal ini menjadi pembelajaran
kedepannya bagaimana cara bersikap dalam sopan santun dan bertindak.
Komentar
Posting Komentar